KETAKJUBAN TERHADAP SAKRATUL
MAUT
Yang dibahas dalam pasal ini adalah bagaimana memperoleh keselamatan tatkala
sakratulmaut. Syarat apa yang di perlukan untuk menghadapi sakratulmaut? Ada
empat syarat. Yaitu ikhlas, rela pada hukum Allah, merasa tidak memiliki, dan
berserah diri pada kehendak Allah.
☼ IKHLAS/RIDHO
Ikhlas dalam menghadapi sekarat itu ya menerima sekarat atas kemauan sendiri. Tanpa merasa terpaksa. Sadar bahwa sekarat itu di tetapkan oleh Tuhan untuk hamba-Nya. Jadi, sekarat bukan sesuatu yang harus di hindari. Tapi, juga bukan untuk di tantang. Yaitu mereka yang minta di matikan.
Kita memang harus rela terhadap Tuhan yang menguasai hidup kita. Sebelum manusia mampu memberdayakan fungsi jasmani dan rohaninya, Tuhan telah menempatkan berbagai organ yang kerjanya tidak kita kendalikan. Jantung, paru-paru, hati, limpa, usus, dan ginjal bekerja secara otomatis. Sistem peredaran darah, pernapasan, dan pembuangan bekerja di luar kendali kita. Jika pada mulanya manusia rela di atur di luar kesadarannya, maka pada akhirnya manusia juga harus rela di atur berdasarkan kesadarannya. Kerelaan sejati adalah kerelaan yang tumbuh dari dalam. Dari kesadaran sendiri. Bukan karena bujuk rayu dari siapa pun. Atau, dari mana pun datangnya. Betul-betul kerelaan yang tumbuh dari keyakinan. Ikhlas atau rela sebenarnya merupakan pekerjaan hati yang paling pokok.
Mengenai kerelaan dalam mengahadapi kematian ini, telah di jelaskan dalam kitabul mukmin (Layang Mu’min), sebagai berikut :
Penderitaan sekarat itu tidak ada. Jangan takut menghadapinya. Dan, jangan ikut-ikutan takut bertemu Allah. Perasaan takut itulah yang disebut sekarat. Roh Ilafi tidak terkena kematian. Hidup mati, mati hidup.
Dipertegas dalam Q.S. Fushilat : 30 : “SESUNGGUHNYA ORANG-ORANG YANG MENYATAKAN [RABB KAMI ADALAH ALLAH], DAN MEREKA MENEGUHKAN PENDIRIAN MEREKA; MAKA MALAIKAT MENDATANGI DAN BERKATA “JANGANLAH KAMU MERASA TAKUT DAN SEDIH, DAN KAMU DI GEMBIRAKAN DENGAN KABAR BAHWA KALIAN MENDAPAT TAMAN YANG DI JANJIKAN”.
Ada dasarnya bahwa dalam menghadapi sakratulmaut, seseorang tak boleh khawatir. Tak boleh takut. Tak boleh bersedih hati. Asal jiwa ini tetap teguh pendirian dalam menjungjung kebenaran, taman yang luas terbentang dihadapannya. Mengapa mesti takut? Malaikat-malaikat yang disebut dalam Al-qur’an akan memberikan perlindungan. Atau, saudara empat (sedulur papat) yang ghaib, akan turut serta menjaga Sang Diri dalam melanjutkan perjalanannya. Bahkan dalam ayat berikutnya, Yaitu ayat 31, disebutkan bahwa para malaikat itu menyatakan sebagai pelindung-pelindung orang yang mantap dalam keimanannya, di dunia dan di akhirat.
☼ RELA PADA HUKUM ALLAH
Banyak orang Islam yang menyempitkan makna “hukum Allah”. Hanya di mengerti sebagai syariat. Atau, sebatas hukum agama. Dalam menyambut sakratulmaut, hukum Allah itu ya kodrat. Ketetapan Allah yang digelar di alam raya ini. Manusia tumbuh dari bayi menjadi orang tua, itu salah satu hukum Allah. Karena itu, tidak usah membaca kitab untuk bisa mengetahui hukum Allah.
Kita akan mengetahui hukum Allah. Perhatikanlah hukum Allah pada manusia. Ada yang menjadi perempuan. Laki-laki. Yang perempuan mempunyai rahim untuk melahirkan. Kulitnya lebih halus daripada laki-laki. Yang laki-laki bisa berkumis, atau berjanggut. Secara normal, badannya lebih kekar. Dan, salah satu dari sekian banyaknya hukum Allah itu, antara lain “Kematian”. Tanpa sekolah pun orang mengetahui bahwa orang hidup akan mengalami kematian. Tanpa baca kitab suci pun, akan tahu bahwa setiap manusia merasakan kematian. Dan, kematian pun tidak selalu datang pada usia senja. Ada yang mati ketika masih janin. Mati setelah dilahirkan. Mati semasa bayi. Mati semasa kanak-kanak. Remaja. Pemuda. Dewasa. Tua renta. Sebabnya pun beraneka. Ada yang karena sakit. Karena kecelakaan. Terbunuh. Atau, karena usia tua. Kapan datangnya, atau apa sebabnya, tidak perlu mengetahui kita. Karena itu semua berjalan berdasarkan hukum Allah. Tuhan mengatur dan menentukan semuanya ini berdasarkan sifat kasihNya. Namun, sifat dunia ini fana. Tidak tetap. Lenyap. Apa yang ada ‘saat ini’, sesaat kemudian sudah tiada. Kefanaan inilah sebenarnya yang menghantui manusia. Yang membuat derita pada kehidupan ini.
☼ MERASA TIDAK MEMILIKI APA-APA (LAHAWLA)
Ya, ini yang seharusnya harus kita lenyapkan. Yaitu merasa diri punya segalanya, merasa kaya, merasa berkuasa, merasa memiliki rumah, tanah, mobil, gedung bertingkat dsb. Pengakuan terhadap sesuatu yang tidak dimiliki inilah yang menyebabkan aneka penderitaan dan kesedihan pada manusia. Kenyataannya, kita tidak memiliki apa-apa. Hakikatnya semua ini kepunyaan Allah. Karena itu, manusia tidak membawa dunia ini kea lam kematian. Apa yang telah diperoleh dalam hidup ini hendaknya tidak di akui sebagai milik. Semua pencapaian itu hanyalah anugerah Ilahi. Sesuatu yang di karuniakan oleh Pemilik sejatinya kepada manusia. Sesuatu yang dipercayakan kepada manusia, agar dijaga dan dipeliharanya. Negara pun bukan kepunyaan kita. Bukan kepunyaan para raja. Tetapi, itu semua hanyalah anugerah Tuhan. Dunia atau bagian dunia ini bukan kepunyaan kita. Karena itu, kita harus merasa tidak memiliki apa-apa. Dengan cara ini, tak ada kekecewaan dalam hati kita. Tak ada penderitaan yang menimpa kita. Tak ada kesedihan yang menerpa kita. Dan, hidup akan tenang hingga ajal menjemput kita, dan sesudahnya. Karena kita merasa tidak memiliki. Tetapi, milik-Nya.
BERSERAH DIRI KEPADA KEHENDAK ALLAH
Kematian itu sendiri hukum Allah. Tapi, bentuk kematian merupakan Kehendak Allah. Dalam hidup ini ada kehendak manusia. Juga ada Kehendak Allah. Kehendak manusia ya kehendak yang bisa di lakukan oleh manusia. Sedangkan Kehendak Tuhan adalah kehendak yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia. Agar perjalanan hidup ini bisa mencapai titik kesempurnaan, maka “kehendak” harus diperjuangkan untuk bisa bertemu “Kehendak”. Sehingga manunggal! Menjadi satu. Bukan dua kehendak, tapi hanya ada satu kehendak.
Dengan memahami Kehendak Allah, kita tidak ragu-ragu dalam menjalani hidup ini. Kita mantap dalam hidup ini. Bila amanat Tuhan selalu kita jaga. Maka, tak perlu ada yang dikhawatirkan bila sewaktu-waktu di ambil-Nya kembali. Termasuk nyawa kita. Bukankah hidup dan mati kita ini kepunyaan-Nya? Hakikatnya, Tuhan lah yang berkehendak adanya hidup dan mati ini. Allah menjadikan mati dan hidup. Dengan cara itu, Allah mendidik dan melatih manusia untuk menyempurnakan dirinya. Dengan cara mematikan dan menghidupkan, Allah menguji manusia. Agar manusia dapat meraih tempat yang layak bagi dirinya. Yaitu kembali kepada-Nya. Ilayhi rẫji’un. Manunggal dengan-Nya.
☼ MELEWATI PINTU KEMATIAN
Tepat melewati pintu maut. Maka, seseorang harus yakin bahwa dirinya ada di Pangkuan Tuhan Yang Maha Pengasih. Pada saat itu, pujian dihadirkan, diungkapkan atau dinyatakan dalam batin. Adapun pujian itu dalam bahasa para Wali sebagai berikut :
Segala puji kepunyaan Allah Tuhan Semesta Alam. Yang hening masuk ke dalam badan yang hening, semoga tetap menjadi “angeun-angeun”, senantiasa berada dalam kekuasaan Allah Yang Maha Tinggi.
☼ IKHLAS/RIDHO
Ikhlas dalam menghadapi sekarat itu ya menerima sekarat atas kemauan sendiri. Tanpa merasa terpaksa. Sadar bahwa sekarat itu di tetapkan oleh Tuhan untuk hamba-Nya. Jadi, sekarat bukan sesuatu yang harus di hindari. Tapi, juga bukan untuk di tantang. Yaitu mereka yang minta di matikan.
Kita memang harus rela terhadap Tuhan yang menguasai hidup kita. Sebelum manusia mampu memberdayakan fungsi jasmani dan rohaninya, Tuhan telah menempatkan berbagai organ yang kerjanya tidak kita kendalikan. Jantung, paru-paru, hati, limpa, usus, dan ginjal bekerja secara otomatis. Sistem peredaran darah, pernapasan, dan pembuangan bekerja di luar kendali kita. Jika pada mulanya manusia rela di atur di luar kesadarannya, maka pada akhirnya manusia juga harus rela di atur berdasarkan kesadarannya. Kerelaan sejati adalah kerelaan yang tumbuh dari dalam. Dari kesadaran sendiri. Bukan karena bujuk rayu dari siapa pun. Atau, dari mana pun datangnya. Betul-betul kerelaan yang tumbuh dari keyakinan. Ikhlas atau rela sebenarnya merupakan pekerjaan hati yang paling pokok.
Mengenai kerelaan dalam mengahadapi kematian ini, telah di jelaskan dalam kitabul mukmin (Layang Mu’min), sebagai berikut :
Penderitaan sekarat itu tidak ada. Jangan takut menghadapinya. Dan, jangan ikut-ikutan takut bertemu Allah. Perasaan takut itulah yang disebut sekarat. Roh Ilafi tidak terkena kematian. Hidup mati, mati hidup.
Dipertegas dalam Q.S. Fushilat : 30 : “SESUNGGUHNYA ORANG-ORANG YANG MENYATAKAN [RABB KAMI ADALAH ALLAH], DAN MEREKA MENEGUHKAN PENDIRIAN MEREKA; MAKA MALAIKAT MENDATANGI DAN BERKATA “JANGANLAH KAMU MERASA TAKUT DAN SEDIH, DAN KAMU DI GEMBIRAKAN DENGAN KABAR BAHWA KALIAN MENDAPAT TAMAN YANG DI JANJIKAN”.
Ada dasarnya bahwa dalam menghadapi sakratulmaut, seseorang tak boleh khawatir. Tak boleh takut. Tak boleh bersedih hati. Asal jiwa ini tetap teguh pendirian dalam menjungjung kebenaran, taman yang luas terbentang dihadapannya. Mengapa mesti takut? Malaikat-malaikat yang disebut dalam Al-qur’an akan memberikan perlindungan. Atau, saudara empat (sedulur papat) yang ghaib, akan turut serta menjaga Sang Diri dalam melanjutkan perjalanannya. Bahkan dalam ayat berikutnya, Yaitu ayat 31, disebutkan bahwa para malaikat itu menyatakan sebagai pelindung-pelindung orang yang mantap dalam keimanannya, di dunia dan di akhirat.
☼ RELA PADA HUKUM ALLAH
Banyak orang Islam yang menyempitkan makna “hukum Allah”. Hanya di mengerti sebagai syariat. Atau, sebatas hukum agama. Dalam menyambut sakratulmaut, hukum Allah itu ya kodrat. Ketetapan Allah yang digelar di alam raya ini. Manusia tumbuh dari bayi menjadi orang tua, itu salah satu hukum Allah. Karena itu, tidak usah membaca kitab untuk bisa mengetahui hukum Allah.
Kita akan mengetahui hukum Allah. Perhatikanlah hukum Allah pada manusia. Ada yang menjadi perempuan. Laki-laki. Yang perempuan mempunyai rahim untuk melahirkan. Kulitnya lebih halus daripada laki-laki. Yang laki-laki bisa berkumis, atau berjanggut. Secara normal, badannya lebih kekar. Dan, salah satu dari sekian banyaknya hukum Allah itu, antara lain “Kematian”. Tanpa sekolah pun orang mengetahui bahwa orang hidup akan mengalami kematian. Tanpa baca kitab suci pun, akan tahu bahwa setiap manusia merasakan kematian. Dan, kematian pun tidak selalu datang pada usia senja. Ada yang mati ketika masih janin. Mati setelah dilahirkan. Mati semasa bayi. Mati semasa kanak-kanak. Remaja. Pemuda. Dewasa. Tua renta. Sebabnya pun beraneka. Ada yang karena sakit. Karena kecelakaan. Terbunuh. Atau, karena usia tua. Kapan datangnya, atau apa sebabnya, tidak perlu mengetahui kita. Karena itu semua berjalan berdasarkan hukum Allah. Tuhan mengatur dan menentukan semuanya ini berdasarkan sifat kasihNya. Namun, sifat dunia ini fana. Tidak tetap. Lenyap. Apa yang ada ‘saat ini’, sesaat kemudian sudah tiada. Kefanaan inilah sebenarnya yang menghantui manusia. Yang membuat derita pada kehidupan ini.
☼ MERASA TIDAK MEMILIKI APA-APA (LAHAWLA)
Ya, ini yang seharusnya harus kita lenyapkan. Yaitu merasa diri punya segalanya, merasa kaya, merasa berkuasa, merasa memiliki rumah, tanah, mobil, gedung bertingkat dsb. Pengakuan terhadap sesuatu yang tidak dimiliki inilah yang menyebabkan aneka penderitaan dan kesedihan pada manusia. Kenyataannya, kita tidak memiliki apa-apa. Hakikatnya semua ini kepunyaan Allah. Karena itu, manusia tidak membawa dunia ini kea lam kematian. Apa yang telah diperoleh dalam hidup ini hendaknya tidak di akui sebagai milik. Semua pencapaian itu hanyalah anugerah Ilahi. Sesuatu yang di karuniakan oleh Pemilik sejatinya kepada manusia. Sesuatu yang dipercayakan kepada manusia, agar dijaga dan dipeliharanya. Negara pun bukan kepunyaan kita. Bukan kepunyaan para raja. Tetapi, itu semua hanyalah anugerah Tuhan. Dunia atau bagian dunia ini bukan kepunyaan kita. Karena itu, kita harus merasa tidak memiliki apa-apa. Dengan cara ini, tak ada kekecewaan dalam hati kita. Tak ada penderitaan yang menimpa kita. Tak ada kesedihan yang menerpa kita. Dan, hidup akan tenang hingga ajal menjemput kita, dan sesudahnya. Karena kita merasa tidak memiliki. Tetapi, milik-Nya.
BERSERAH DIRI KEPADA KEHENDAK ALLAH
Kematian itu sendiri hukum Allah. Tapi, bentuk kematian merupakan Kehendak Allah. Dalam hidup ini ada kehendak manusia. Juga ada Kehendak Allah. Kehendak manusia ya kehendak yang bisa di lakukan oleh manusia. Sedangkan Kehendak Tuhan adalah kehendak yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia. Agar perjalanan hidup ini bisa mencapai titik kesempurnaan, maka “kehendak” harus diperjuangkan untuk bisa bertemu “Kehendak”. Sehingga manunggal! Menjadi satu. Bukan dua kehendak, tapi hanya ada satu kehendak.
Dengan memahami Kehendak Allah, kita tidak ragu-ragu dalam menjalani hidup ini. Kita mantap dalam hidup ini. Bila amanat Tuhan selalu kita jaga. Maka, tak perlu ada yang dikhawatirkan bila sewaktu-waktu di ambil-Nya kembali. Termasuk nyawa kita. Bukankah hidup dan mati kita ini kepunyaan-Nya? Hakikatnya, Tuhan lah yang berkehendak adanya hidup dan mati ini. Allah menjadikan mati dan hidup. Dengan cara itu, Allah mendidik dan melatih manusia untuk menyempurnakan dirinya. Dengan cara mematikan dan menghidupkan, Allah menguji manusia. Agar manusia dapat meraih tempat yang layak bagi dirinya. Yaitu kembali kepada-Nya. Ilayhi rẫji’un. Manunggal dengan-Nya.
☼ MELEWATI PINTU KEMATIAN
Tepat melewati pintu maut. Maka, seseorang harus yakin bahwa dirinya ada di Pangkuan Tuhan Yang Maha Pengasih. Pada saat itu, pujian dihadirkan, diungkapkan atau dinyatakan dalam batin. Adapun pujian itu dalam bahasa para Wali sebagai berikut :
Segala puji kepunyaan Allah Tuhan Semesta Alam. Yang hening masuk ke dalam badan yang hening, semoga tetap menjadi “angeun-angeun”, senantiasa berada dalam kekuasaan Allah Yang Maha Tinggi.
Hening atau wening sebenarnya sebuah pencapaian dalam zikir. Tahap khusyuk. Sehingga pikiran benar-benar menjadi bening, jernih. Tak ada suatu noda pun yang melekat dalam kondisi jernih. Bagi yang pernah mengalami kondisi ini, akan mengerti apa yang dinamakan pikiran yang terang sekali. Dalam kondisi hening tak ada beban sedikit pun.
Nah, pada saat sekarat itu tiba. Pada saat heningnya kematian itu datang. Maka, dipujilah Tuhan dengan pernyataan “Yang hening masuk kedalam badan yang hening”. Sebenarnya, keheningan itu sendiri merupakan Sifatullah (Sifat Tuhan).
Kalimat berikutnya, “semoga tetap menjadi angen-angen”. Kata “angen-angen” disitu bermakna keyakinan dan pengamalannya. Tentang kebenaran yang dipegangnya. Jadi, yang dimaksud dengan kalimat tersebut adalah agar kita tetap teguh pendirian dalam iman tauhid, tidak berubah oleh keadaan yang kita hadapi.
Penutup pujiannya adalah “semoga senantiasa berada dalam kekuasaan Allah Yang Maha Tinggi”. Inilah keyakinan iman tauhid di akhir hayat. Kita sadari bahwa Ada kenyataan yang paling tinggi, paling besar, paling agung, dan paling berkuasa di jagat raya ini. Dan, ketika seseorang melewati pintu kematian maka pada saat itu pula lahir pengakuan asli bahwa dirinya itu nihil. Nol! Keberadaan dirinya ada di dalam kekuasaan Tuhan Yang Mahatinggi.
Hakikat manusia adalah pendakian spiritual. Perjalanan “Diri Sejati”! bagaikan korpus (paket) cahaya yang terpancar dari sumber Asal. Yaa, sumber Asal itu adalah Tuhan Yang Maha Esa! Inna Li Allah. Kita kepunyaan Allah. Kita berasal dari Allah. Kita ini memang melakukan perjalanan. Mulainya dari Allah dan akihirnya pun kembali kepada-Nya.
Adapun Pintu atau Pase Alam yang akan di laluinya setelah sakratulmaut adalah sebagai berikut :
☼ ALAM RUHIYAH
Begitu sakratulmaut dilampaui, maka masuklah Sang Diri ke alam ruhiyah. Alam nyawa. Suatu alam yang terang. Tetapi bukan terangnya siang hari. Dengan kata lain, terangnya itu bukan karena sinar matahari. Suatu terang yang tanpa panas. Dan, tidak tahu sumber terangnya itu.
Di alam ruhiyah arah tidak diketahui lagi. Mengapa? Karena tidak ada patokan. Di alam syahadah [alam dunia] ini kita tahu timur, karena kita membuat patokan bahwa matahari terbit di timur. Sedangkan di alam ruhiyah itu yang namanya timur, barat, utara, dan selatan, tidak kita ketahui lagi. Jika kita melihat lautan, maka kita tidak bisa melihat tepinya atau pantai dari pulau lain. Ternyata, lautan tanpa tepi itu sebenarnya perwujudan dari “Hati” yang terkena pancaran otak. Unsure-unsur kimia otak memancarkan sinar yang tak tertangkap oleh mata. Tapi, pancarannya terlihat oleh mata hati.
Di tengah-tengah samudra tanpa tepi itu, memancarlah cahaya dari Pancamaya. Pancaran warna cahayanya terang. Yang merupakan perwujudan dari jantung yang mendapatkan pancaran cahaya dari Roh Ilafi. Cahayanya meliputi hakikat hati. Dan, menjadi sumber sifat-sifat mulia manusia. Yaitu, Mukasyafah. Disebut juga mukasifat, yang menuntun semua sifat mulia.
☼ ALAM SIRRIYAH
Setelah alam ruhiyah terlampaui, maka masuklah ke alam Sirriyahi. Suatu alam yang mempunyai 4 (empat) macam warna. Yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih. Semua itu merupakan perwujudan budi, yang menimbulkan nafsu.
CAHAYA HITAM
Memancar dari perut dan keluar melalui mulut. Dalam cahaya hitam ini muncul berbagai macam binatang yang masing-masing mendesak untuk mengakui dirinya sebagai Tuhan. Cahaya hitam ini jangan sampai menghanyutkan perjalanan spiritual dari jiwa setelah melewati kematian. Ingat pujian pada saat sakratulmaut. Iman tauhid tak boleh goyah. Begitu goyah dan terhanyut kekuatan cahaya hitam itu, maka Sang Diri akan menitis [terlahir kembali] di alam binatang. Jangan heran bila kita menyaksikan binatang, ada yang begitu dekat dengan manusia, dan ada yang ketakutan terhadap manusia.
CAHAYA MERAH
Memancar dari empedu dan keluar melalui telinga. Yang muncul dalam cahaya merah itu adalah berbagai jenis setan alas, makhluk halus yang jahat. Tampak seperti api raksasa yang menyala-nyala. Sama seperti pada makhluk pada cahaya hitam, mereka juga mengaku-ngaku sebagai Tuhan. Angen-angen yang tidak goyah, tak akan mau menerima desakan mereka. Jika sampai takluk, atau terbujuk, maka Sang Diri akan terlahir kembali ke dalam alam setan alas.
CAHAYA KUNING
Memancar dari limpa dan keluar melalui mata. Dalam cahaya kuning ini akan kelihatan berbagai macam burung yang terbang menggoda. Dayanya seperti angina rebut. Masing-masing mendesak untuk mengakuinya sebagai Tuhan. Bilamana terjebak desakan mereka, maka akan terlahir kembali sebagai burung. Hidup lagi dalam bangsa burung.
CAHAYA PUTIH
Cahaya memancar dari tulang dan keluar melalui hidung. Yang menampakan diri dalam lautan cahaya putih adalah berbagai jenis ikan dan binatang yang hidup di air. Mereka juga menggoda Sang Diri untuk mengakui mereka sebagai Tuhan. Berbagai istana tampak di lautan cahaya putih. Tapi, itu semua hanyalah godaan. Tentu, itu bukan istana yang sesungguhnya. Kalau sampai terpesona dan masuk kedalamnya, maka akan terlahir kembali kedunia ikan atau binatang air.
☼ ALAM NURIYAH
Memasuki alam nuriyah. Kata “Nur” berate cahaya. Jadi, alam ini merupakan alam yang dipenuhi cahaya. Alam yang dipenuhi cahaya tak terbatas. Cahaya yang amat terang. Melebihi terangnya alam sirriyah.
Di alam nuriyah ini, selepas adanya cahaya yang terang benderang, muncullah cahaya terang berwarna hitam, merah, kuning, putih, dan hijau. Semua cahaya itu terbentang di hadapan Sang Diri. Disekeliling roh orang yang meninggal. Tampaklah istana-istana. Tapi, bukan istana yang sesungguhnya yang di atur oleh Tuhan Yang Maha mulia. Hanya pantulan istana. Pantulan yang berasal dari cahaya yang berwarna lima macam tersebut.
Di dalam lautan cahaya yang berwarna Hitam tampak istana-istana yang dihuni oleh bangsa binatang. Istana yang muncul dari cahaya berwarna Merah merupakan wilayah yang dihuni bangsa makhluk halus yang jahat [setan alas, bekakasan]. Dalam cahaya warna Kuning terdapat istana-istana yang merupakan hunian bangsa burung. Dalam cahaya Putih ada istana-istana pantulan dari bangsa ikan. Sedangkan dalam lautan cahaya yang berwarna Hijau tampak istana yang berasal dari dunia tumbuhan.
Di saat kelihatan beragam istana ini, ada suara-suara. Anehnya suara-suara ini mau memandu Sang Diri. Masing-masing suara itu menunjukan kelembutannya. Seakan-akan menawarkan jasa peristirahatan bagi Sang Diri atau roh orang yang mati. Tentu saja itu semua jebakan. Tak ada istana yang perlu dipilih. Semua bisa menyebabkan kelahiran kembali ke alam yang dimasukinya.
SUB ALAM NURIAH (ALAM PERMANA atau ALAM ISYQ/KENCINTAAN).
Pada sub alam nuriah ini cahayanya bening sekali. Di dalam cahaya itu tampaklah sebuah nyala yang tegak sebesar Lidi. Nyala itu mempunyai delapan warna cahaya, Yaitu Hitam, merah, kuning, putih, hijau, biru, ungu, dan merah dadu [merah muda].
Semua warna terhampar, dan masing-masing memperlihatkan surga serba indah. Itulah perwujudan Permana yang di tambah cahaya yang dipancarkan oleh sukma. Alam permana disebut alam kecintaan. Pada saat itu Sang Diri mengalami kerinduan akan surga. Surga tampak asri. Tetapi, ternyata juga belum surga yang sebenarnya. Bukan tempatnya kenikmatan yang membawa manfaat bagi kehidupan Sang Diri. Juga bukan tempatnya rahmat Allah sebagaimana yang dinyatakan dalam Al qur’an.
Surga di alam nuriyah ini bukan surga sejati, tetapi hanyalah kahyangan atau tempat bangsanya makhluk halus, makhluk tersembunyi. Kedelapan macam surga itu mengeluarkan bau harum semerbak. Harumnya bisa membuat Sang Diri tertarik. Sebenarnya surga yang tampak oleh Sang Diri ini hanyalah perwujudan dari angan-angan atau ciptaan dari manusia sendiri. Jika tertarik kesitu, ya akan menjadi raja dari makhluk halus di alamnya masing-masing.
ALAM ULUHIYAH
Jika lolos dari berbagai rintangan di alam-alam sebelumnya, maka berikutnya Sang Diri memasuki alam uluhiyah. Inilah yang disebut alam ketuhanan. Terangnya alam ini melebihi alam nuriyah. Di alam ini tampak cahaya yang memancar. Di dalam cahaya itu tampak suatu perwujudan seperti lebah yang masih berada di dalam sarangnya. Keadaan ini ada di maqam Fana. Dengan demikian, cahaya yang terpancar itu sebenarnya berasal dari sukma. Pancaran cahayanya menambahi segala macam warna. Pancaran cahayanya meliputi seluruh alam, baik alam kecil, besar, dengan segala isinya.
Hidupnya warna-warni cahaya itu berasal dari permananya rahsa. Pada saat itu datanglah malaikat-malaikat yang menyerupai ayah, kakek, dan leluhur lelaki. Mereka mengaku sebagai utusan-utusan Tuhan yang akan mengantarkan ke alam karamattulloh. Yaitu, alam kemuliaan Tuhan Yang Mahasuci. Meskipun demikian, Sang Diri harus tetap kokoh dengan pendiriannya semula, dan tidak mudah percaya.
SUB BAGIAN ALAM ULUHIYAH (LAPISAN KE 2)
Masih berada di sub-bagian alam ruhiyah. pada sub-alam ini cahayanya lebih terang lagi keadaannya. Di ala mini tampak cahaya yang bersinar cemerlang. Cahaya yang berkilauan. Di ala mini tampak perwujudan bagaikan boneka gading yang bertahtakan mutiara. Gebyar-gebyar cahayanya. Dilihat dari jenis kelaminnya, ternyata wujud itu bukan laki-laki. Bukan perempuan. Bukan pula banci.
Itulah maqom baqa, alam baka. Keadaan di ala mini berasal dari permanya rahsa yang menguasai semesta alam. Keberadaan ala mini berasal dari atma. Di alam ini Sang Diri didatangi para bidadari yang menyerupai ibu, nenek, dan para leluhur yang berasal dari pihak ibu. Mereka semua juga mengaku sebagai utusan-utusan Tuhan Yang Mahasuci. Mereka menyatakan diri sanggup mengantarkan Sang Diri kea lam karamattullah. Pada tahap ini pun diharapkan Sang Diri tidak mengimani mereka. Sang Diri harus terus melakukan pendakian. Meneruskan perjalanan.
SUB BAGIAN ALAM ULUHIYAH (LAPISAN KE 3)
Masih berada di sub-bagian alam uluhiyah. Tentu alam yang lebih tinggi lagi. Jadi, ada 3 (tiga) lapis alam uluhiyah. Dan, ini adalah bagian tertinggi dari alam uluhiyah. Cahayanya, luar biasa terangnya! Sudah tidak lagi bisa melihat sesuatu karena terangnya. Bagaikan kita menatap langsung seribu matahari di siang hari. Meskipun terang benderang, tapi ketika kita menatap satu matahari saja, membuat kita tidak akan mampu melihat keadaan di sekitar kita. Yang ada hanyalah cahaya yang terang cemerlang tanpa bayangan.
Keadaan ini sebenarnya merupakan perwujudan dari Dzat Atma. Yang sebenarnya merupakan dzat yang bersifat esa. Alam tanpa arah dan tanpa ruang. Tanpa warna. Tanpa rupa. Suatu keadaan yang azali dan abadi. Dzat Atma inilah yang berkuasa dan yang menguasai seluruh alam. Meliputi seluruh alam. Dan, memancarkan segala maqom sempurna.
Dzat Atma hidup tanpa ada yang menghidupi. Sebagai hakikat dari Tuhan Yang Mahasuci. Mahaagung Dzat-Nya. Mahamulia sifat-Nya. Mahakuasa Asma-Nya. Mahasempurna tidakan Af’al-Nya. Ternyata Dzat itu berada pada Sang Diri Pribadi. Tak ada jarak lagi antara hamba dan Tuhan. Nah, disitulah wujud manunggaling kawula klawan Gusti. Menunggalnya hamba dan Tuhan. Wujud final dari “ilayhi raji’un”, kepada-Nya kita kembali! Nah, surga yang sejati itu sebenarnya manunggalnya Sang Diri dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar