AWAL
MULA KENABIAN NABI MUHAMMAD SAW
Awal
Mula Diturunkannya Wahyu
Al-Imam
al-Bukhari dan Imam Muslim dalam Shahih mereka mencantumkan sebuah kisah agung
yang sarat dengan pelajaran dan ibrah, bersumber dari Ummul Mukminin Aisyah
radhiallahu ‘anha, dia bercerita bahwa:
Awal
mula diturunkannya wahyu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
dengan diperlihatkannya kepada beliau mimpi yang baik. Dan tidaklah beliau
bermimpi melainkan mimpi itu seperti terangnya waktu subuh. Lalu timbul
kesenangan untuk berkhalwah (menyepi), maka beliau pun menyendiri di Gua Hira.
Beliau
beribadah beberapa malam di sana sebelum kembali kepada keluarganya dan meminta
bekal secukupnya, setelah itu beliau pun kembali kepada Khadijah radhiallahu
‘anha, dan berbekal kembali secukupnya sampai datang al-haq kepadanya ketika
beliau berada di Gua Hira.
Maka
datanglah seorang malaikat seraya mengatakan, “Bacalah!” beliau menjawab, “Saya
tidak dapat membaca.” Lalu dia (malaikat) menarikku dan mendekapku dengan erat
hingga aku merasa kepayahan, lalu ia melepasku. Kembali ia mengatakan,
“Bacalah!” beliau menjawab, “Saya tidak dapat membaca.” Lalu dia (malaikat)
menarikku untuk kedua kalinya dan mendekapku dengan erat hingga aku merasa
kepayahan lalu ia melepaskanku. Dia tetap memerintahkan, “Bacalah!” Beliau
menjawab, “Saya tidak bisa membaca.” Lalu dia (malaikat) menarikku untuk ketiga
kalinya dan mendekapku dengan erat hingga aku merasa kepayahan, lalu
melepaskanku kemudian mengatakan,
“Bacalah
dengan (menyebut) Nama Robbmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Robbmulah yang Maha pemurah.”
Kemudian
beliau pulang dalam keadaan hatinya gemetar ketakutan. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menemui Khadijah binti Huwailid seraya berkata, “Selimuti
aku, selimuti aku.” Maka beliau pun diselimuti hingga hilang dari diri beliau
rasa takut tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bercerita kepada
Khadijah tentang kejadian yang dialaminya, beliau mengadukan: “Sungguh aku
mengkhawatirkan diriku,” jawab khodijah menenangkan: “Demi Allah Subhanahu wa
Ta’ala, janganlah engkau merasa khawatir, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah
akan merendahkanmu selamanya, sesungguhnya engkau adalah seorang yang
menyambung tali silaturahmi, engkau telah memikul beban orang lain, engkau suka
membantu seorang yang kesulitan, engkau menjamu para tamu, dan selalu membela
kebenaran.”
Lalu
ia mengajak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Waroqoh bin Naufal
bin Asad bin Abdil Uzza anak paman Khadijah, dan beliau adalah seorang Nashrani
pada masa jahiliyyah. Waroqoh pandai menulis kitab dengan bahasa Ibrani, maka
Ia pun menulis Injil dengan bahasa Ibrani sesuai dengan kehendak Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Waroqoh adalah seorang yang telah lanjut usia lagi buta,
maka Khadijah berkata kepada beliau: “Wahai anak pamanku, dengarkanlah apa yang
akan disampaikan oleh anak saudaramu (keponakan) ini,” lalu Ia mengatakan:
“Wahai keponakanku, kejadian apa yang telah engkau lihat? Lalu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan semua peristiwa yang beliau alami?
Mendengar penuturan itu lantas Waroqoh mengatakan: sesungguhnya dia adalah
Namus yang dahulu juga telah mendatangi Musa. Aduhai seandainya di saat-saat
itu aku masih muda, dan seandainya kelak aku masih hidup tatkala engkau diusir
oleh kaummu.” Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
“Apakah mereka akan mengusirku..?!!” Ia menjawab, “Benar, tidaklah datang
seorang pun yang membawa ajaran seperti apa yang engkau bawa melainkan ia akan
diusir, dan seandainya aku menjumpai hari itu, aku akan menolongmu dengan
sekuat tenaga.” Tidak berselang lama Waroqoh pun meninggal dunia, dan wahyu
tengah terputus.
Takhrij
Dalam
timbangan para pakar hadis, hadis ini termasuk hadis mursal, karena Aisyah
radhiallahu ‘anha tidak atau belum mendapati masa-masa tersebut. Namun demikian
telah mapan dalam kaidah ilmu hadis bahwa mursal sahabat hadisnya adalah sah
dan dapat diterima. Karena tidaklah mungkin Aisyah radhiallahu ‘anha
menceritakan hal tersebut kecuali beliau mendengarnya langsung dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam atau beliau mendengar dari para sahabat yang
lain. Para ulama sepakat bahwa semua para sahabat adalah udul (adil). Dengan
ini maka kisah tersebut adalah sebuah kisah shahih yang telah terjadi pada diri
panutan kita penutup para nabi dan rasul yaitu nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.
Pelajaran
Kisah
Sebelum
diturunkannya wahyu kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka terlebih dahulu diperlihatkan kepada beliau mimpi yang benar. Dalam
riwayat lain, mimpi baik yang demikian untuk meneguhkan jiwa beliau sebelum
datang wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya.
Al-Qodhi
berkata, “Sebelum diturunkannya wahyu, maka dimulailah dengan adanya
mimpi-mimpi yang baik. Yang demikian agar nantinya beliau tidak merasa kaget
tatkala didatangi malaikat dan agar cahaya kenabian tidak datang secara
spontan, hingga jiwa manusia merasa berat dan akan tergoncang. Maka dimulailah
dengan salah satu perangai dan karomah kenabian berupa kebenaran dalam hal
mimpi. Dan juga sebagaimana telah datang keterangan dalam hadis-hadis yang lain
seperti beliau melihat cahaya terang, mendengar suara dan salamnya batu, pohon
serta yang selainnya dari tanda-tanda kenabian. (Syarh Shahih Muslim, 1:349)
Kemudian
setelah itu timbul rasa kesenangan untuk berkholwah (menyepi), dan kholwah
adalah kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang sholih dan hamba Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang senantiasa ingat kepada-Nya.
Abu
Sulaiman al-Khottobi radhiallahu ‘anha berkata, “Timbul kesenangan untuk
berkholwah pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena dengan hal
tersebut akan timbul ketenangan hati, memudahkan dalam berfirkir, dan hal itu
pula berarti meninggalkan kebiasaan buruk kebanyakan manusia, serta akan
menjadikan hati menjadi Khusyu.” (Syarh Shahih Muslim, 1:349)
Maka
beliau pun berkholwah di sebuah gua yang dikenal dengan Gua Hira. Gua Hira
adalah sebauh gua di suatu bukit yang terletak kurang lebih 3 mil dari Mekah.
Setelah
beliau berkholwah dan beribadah di Gua Hira selama beberapa hari, datanglah
Jibril membawa wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala seraya mengatakan “Bacalah!”.
Namun beliau adalah seorang yang ummi yang tidak bisa baca dan tulis. Oleh
karena itu, beliau menjawab “Saya tidak dapat membaca.” Kemudian Jibril
mendekapnya dengan erat dan memerintahkan agar beliau membaca kembali.
Hikmah
dari dekapan Jibril sebagaimana dijelaskan para ulama adalah untuk memusatkan
perhatian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agar beliau
berkonsentrasi dengan menghadirkan hati sepenuhnya terhadap apa yang akan
dibacakan kepadanya. Jibril mengulanginya tiga kali, hal itu menunjukkan
kesungguhan dalam menggugah perhatiannya. Dari sini selayaknya bagi seorang
mu’aliim (pengajar) sebelum ia mengajarkan ilmu, hendaklah benar-benar
mengkondisikan para muridnya untuk memperhatikan pelajaran dan menghadirkan
hati dengan sepenuhnya. Wallahu a’lam.
Setelah
beliau mendapatkan pengajaran dari Jibril, beliau pulang dalam keadaan gemetar
ketakutan dan meminta kepada sang pendamping setianya untuk menyelimuti hingga
hilang rasa takutnya tersebut.
Al-Qodhi
berkata, “Gemetar dan ketakutannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak berarti beliau ragu terhadap apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala
turunkan kepadanya, akan tetapi karena beliau khawatir tidak kuasa mengemban
perkara tersebut dan tidak mampu membawa amanat wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala
tersebut sehingga bergetar jiwanya.” (Syarah Shahih Muslim, 1:350)
Kemudian
Khadijah membawanya menemui anak pamannya yaitu Waroqoh bin Naufal bin Asad dan
menceritakan peristiwa yang telah terjadi pada diri suaminya. Waroqoh pun
menanggapi bahwa dia adalah Namus yang juga telah datang kepada Musa
‘alaihissalam.
Kata
Namus artinya pembawa rahasia kebaikan sedangkan Jasus artinya pembawa rahasia
kejelekan. Adapun yang dimaksud oleh beliau adalah Jibril sang pembawa wahyu
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Al-Harawi
berkata, “Beliau (Jibril) dinamakan dengan demikian karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah mengkhususkannya sebagai pembawa wahyu dan perkara ghaib.” (Syarh Shahih
Muslim, 1:350)
Kemudian
Waroqoh memberi semangat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap
tegar di atas jalan yang telah dilalui oleh nabi Musa dan para nabi yang
lainnya. Dia mengatakan: “Seandainya pada hari tatkala engkau telah diutus
menjadi seorang rasul dan tatkala kaummu mengusirmu sedangkan aku masih gagah
dan berusia muda, atau sekurang-kurangnya apabila aku masih hidup, maka aku
akan menolongmu mati-matian.”
Namun
takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala menentukan lain, Waroqoh meninggal dunia
setelah waktu berlalu dan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala tengah berhenti.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati kita semua dan juga Waroqoh bin
Naufal bin Asad. Wallahul Muwaffiq.
Mutiara
Kisah
Beberapa
pelajaran yang dapat diambil dari kisah di atas adalah:
Selayaknya
bagi seorang pengajar untuk menggugah perhatian para murid dan memerintahkan
untuk menghadirkan hati dan tidak lalai dari ilmu yang disampaikan. Seperti
yang dilakukan Jibril kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala
mendekap dan mengulang-ulang perintahnya untuk membaca.
Kisah
ini sangat jelas menunjukkan bahwa ayat yang pertama kali diturunkan adalah
ayat-ayat di awal surat al-Alaq sebagaimana telah disepakati oleh para ulama
salaf dan khalaf dan tidak sebagaimana yang diyakini oleh sebagian orang yang
mengatakan bahwa yang pertama diturunkan adalah surat al-Mudatstsir.
Dalam
kisah di atas nampak beberapa akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
di masa-masa sebelum beliau diangkat menjadi nabi seperti menyambung tali
silaturahmi, memikul beban orang lain yang kepayahan, membantu orang yang
kesulitan, menjamu tamu, dan lain sebagainya dari akhlak-akhlak terpuji
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kebaikan
akhlak seseorang merupakan sebab terjaganya diri dari perkara-perkara jelek
yang akan menimpanya. Sebagaimana hiburan yang disampaikan Khadijah kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau mengkhawatirkan dirinya.
Dibolehkan
memuji seseorang langsung di hadapannya bila yang demikian mengandung maslahat.
Seperti yang dilakukan Khadijah tatkala ia menyebutkan kebaikan-kebaikan yang
selama ini dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka
untuk meneguhkan hati beliau yang tengah dirundung ketakutan.
Kisah
di atas menunjukkan kesempurnaan dan kecerdikan Khadijah, kemapanan jiwa,
ketegunan hati, dan mengetahui kondisi dan keadaan, sehingga beliau menjadi
pendamping hidup yang selalu memberikan dorongan di kala sang suami
membutuhkannya. Maka perhatikanlah dengan baik wahai para istri, dan semoga
Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa meneguhkan kita semua di atas jalan yang
haq.
Merupakan
adab, apabila seorang yang lebih muda memanggil orang yang lebih tua maka
dengan panggilan “Ya Ammi” (wahai paman), untuk menghormati dan memuliakannya.
Sebagaimana hal itu adalah kebiasaan baik yang dilakukan oleh masyarakat Arab
bahkan sebelum datang cahaya Islam menerangi dunia ini.
Kebenaran
tetap harus dipegang sekalipun kebanyakan manusia meninggalkannya. Oleh
karenanya, kita jangan terperdaya dengan banyaknya manusia yang tersesat dan
jangan berkecil hati dengan sedikitnya pengikut kebenaran. Di awal mula
diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi, banyak manusia
yang mengingkarinya bahkan mengusir beliau. Namun, kebenaran tersebut suatu
saat akan nampak dan manusia akan mengakui kebenaran tersebut. Wallahu a’lam.
Sumber:
Majalah Al-Furqon Edisi 10 Tahun Ke-9 1431 H/2010 M