Minggu, 22 Juli 2018

AWAL MULA KENABIAN NABI MUHAMMAD SAW


AWAL MULA KENABIAN NABI MUHAMMAD SAW

Awal Mula Diturunkannya Wahyu

Al-Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam Shahih mereka mencantumkan sebuah kisah agung yang sarat dengan pelajaran dan ibrah, bersumber dari Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha, dia bercerita bahwa:

Awal mula diturunkannya wahyu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan diperlihatkannya kepada beliau mimpi yang baik. Dan tidaklah beliau bermimpi melainkan mimpi itu seperti terangnya waktu subuh. Lalu timbul kesenangan untuk berkhalwah (menyepi), maka beliau pun menyendiri di Gua Hira.

Beliau beribadah beberapa malam di sana sebelum kembali kepada keluarganya dan meminta bekal secukupnya, setelah itu beliau pun kembali kepada Khadijah radhiallahu ‘anha, dan berbekal kembali secukupnya sampai datang al-haq kepadanya ketika beliau berada di Gua Hira.

Maka datanglah seorang malaikat seraya mengatakan, “Bacalah!” beliau menjawab, “Saya tidak dapat membaca.” Lalu dia (malaikat) menarikku dan mendekapku dengan erat hingga aku merasa kepayahan, lalu ia melepasku. Kembali ia mengatakan, “Bacalah!” beliau menjawab, “Saya tidak dapat membaca.” Lalu dia (malaikat) menarikku untuk kedua kalinya dan mendekapku dengan erat hingga aku merasa kepayahan lalu ia melepaskanku. Dia tetap memerintahkan, “Bacalah!” Beliau menjawab, “Saya tidak bisa membaca.” Lalu dia (malaikat) menarikku untuk ketiga kalinya dan mendekapku dengan erat hingga aku merasa kepayahan, lalu melepaskanku kemudian mengatakan, 

“Bacalah dengan (menyebut) Nama Robbmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Robbmulah yang Maha pemurah.”

Kemudian beliau pulang dalam keadaan hatinya gemetar ketakutan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Khadijah binti Huwailid seraya berkata, “Selimuti aku, selimuti aku.” Maka beliau pun diselimuti hingga hilang dari diri beliau rasa takut tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bercerita kepada Khadijah tentang kejadian yang dialaminya, beliau mengadukan: “Sungguh aku mengkhawatirkan diriku,” jawab khodijah menenangkan: “Demi Allah Subhanahu wa Ta’ala, janganlah engkau merasa khawatir, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah akan merendahkanmu selamanya, sesungguhnya engkau adalah seorang yang menyambung tali silaturahmi, engkau telah memikul beban orang lain, engkau suka membantu seorang yang kesulitan, engkau menjamu para tamu, dan selalu membela kebenaran.”

Lalu ia mengajak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Waroqoh bin Naufal bin Asad bin Abdil Uzza anak paman Khadijah, dan beliau adalah seorang Nashrani pada masa jahiliyyah. Waroqoh pandai menulis kitab dengan bahasa Ibrani, maka Ia pun menulis Injil dengan bahasa Ibrani sesuai dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Waroqoh adalah seorang yang telah lanjut usia lagi buta, maka Khadijah berkata kepada beliau: “Wahai anak pamanku, dengarkanlah apa yang akan disampaikan oleh anak saudaramu (keponakan) ini,” lalu Ia mengatakan: “Wahai keponakanku, kejadian apa yang telah engkau lihat? Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan semua peristiwa yang beliau alami? Mendengar penuturan itu lantas Waroqoh mengatakan: sesungguhnya dia adalah Namus yang dahulu juga telah mendatangi Musa. Aduhai seandainya di saat-saat itu aku masih muda, dan seandainya kelak aku masih hidup tatkala engkau diusir oleh kaummu.” Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Apakah mereka akan mengusirku..?!!” Ia menjawab, “Benar, tidaklah datang seorang pun yang membawa ajaran seperti apa yang engkau bawa melainkan ia akan diusir, dan seandainya aku menjumpai hari itu, aku akan menolongmu dengan sekuat tenaga.” Tidak berselang lama Waroqoh pun meninggal dunia, dan wahyu tengah terputus.

Takhrij
Dalam timbangan para pakar hadis, hadis ini termasuk hadis mursal, karena Aisyah radhiallahu ‘anha tidak atau belum mendapati masa-masa tersebut. Namun demikian telah mapan dalam kaidah ilmu hadis bahwa mursal sahabat hadisnya adalah sah dan dapat diterima. Karena tidaklah mungkin Aisyah radhiallahu ‘anha menceritakan hal tersebut kecuali beliau mendengarnya langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau beliau mendengar dari para sahabat yang lain. Para ulama sepakat bahwa semua para sahabat adalah udul (adil). Dengan ini maka kisah tersebut adalah sebuah kisah shahih yang telah terjadi pada diri panutan kita penutup para nabi dan rasul yaitu nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.

Pelajaran Kisah

Sebelum diturunkannya wahyu kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka terlebih dahulu diperlihatkan kepada beliau mimpi yang benar. Dalam riwayat lain, mimpi baik yang demikian untuk meneguhkan jiwa beliau sebelum datang wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya.

Al-Qodhi berkata, “Sebelum diturunkannya wahyu, maka dimulailah dengan adanya mimpi-mimpi yang baik. Yang demikian agar nantinya beliau tidak merasa kaget tatkala didatangi malaikat dan agar cahaya kenabian tidak datang secara spontan, hingga jiwa manusia merasa berat dan akan tergoncang. Maka dimulailah dengan salah satu perangai dan karomah kenabian berupa kebenaran dalam hal mimpi. Dan juga sebagaimana telah datang keterangan dalam hadis-hadis yang lain seperti beliau melihat cahaya terang, mendengar suara dan salamnya batu, pohon serta yang selainnya dari tanda-tanda kenabian. (Syarh Shahih Muslim, 1:349)

Kemudian setelah itu timbul rasa kesenangan untuk berkholwah (menyepi), dan kholwah adalah kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang sholih dan hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang senantiasa ingat kepada-Nya.

Abu Sulaiman al-Khottobi radhiallahu ‘anha berkata, “Timbul kesenangan untuk berkholwah pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena dengan hal tersebut akan timbul ketenangan hati, memudahkan dalam berfirkir, dan hal itu pula berarti meninggalkan kebiasaan buruk kebanyakan manusia, serta akan menjadikan hati menjadi Khusyu.” (Syarh Shahih Muslim, 1:349)

Maka beliau pun berkholwah di sebuah gua yang dikenal dengan Gua Hira. Gua Hira adalah sebauh gua di suatu bukit yang terletak kurang lebih 3 mil dari Mekah.

Setelah beliau berkholwah dan beribadah di Gua Hira selama beberapa hari, datanglah Jibril membawa wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala seraya mengatakan “Bacalah!”. Namun beliau adalah seorang yang ummi yang tidak bisa baca dan tulis. Oleh karena itu, beliau menjawab “Saya tidak dapat membaca.” Kemudian Jibril mendekapnya dengan erat dan memerintahkan agar beliau membaca kembali.

Hikmah dari dekapan Jibril sebagaimana dijelaskan para ulama adalah untuk memusatkan perhatian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agar beliau berkonsentrasi dengan menghadirkan hati sepenuhnya terhadap apa yang akan dibacakan kepadanya. Jibril mengulanginya tiga kali, hal itu menunjukkan kesungguhan dalam menggugah perhatiannya. Dari sini selayaknya bagi seorang mu’aliim (pengajar) sebelum ia mengajarkan ilmu, hendaklah benar-benar mengkondisikan para muridnya untuk memperhatikan pelajaran dan menghadirkan hati dengan sepenuhnya. Wallahu a’lam.

Setelah beliau mendapatkan pengajaran dari Jibril, beliau pulang dalam keadaan gemetar ketakutan dan meminta kepada sang pendamping setianya untuk menyelimuti hingga hilang rasa takutnya tersebut.

Al-Qodhi berkata, “Gemetar dan ketakutannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berarti beliau ragu terhadap apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan kepadanya, akan tetapi karena beliau khawatir tidak kuasa mengemban perkara tersebut dan tidak mampu membawa amanat wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut sehingga bergetar jiwanya.” (Syarah Shahih Muslim, 1:350)

Kemudian Khadijah membawanya menemui anak pamannya yaitu Waroqoh bin Naufal bin Asad dan menceritakan peristiwa yang telah terjadi pada diri suaminya. Waroqoh pun menanggapi bahwa dia adalah Namus yang juga telah datang kepada Musa ‘alaihissalam.

Kata Namus artinya pembawa rahasia kebaikan sedangkan Jasus artinya pembawa rahasia kejelekan. Adapun yang dimaksud oleh beliau adalah Jibril sang pembawa wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Al-Harawi berkata, “Beliau (Jibril) dinamakan dengan demikian karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengkhususkannya sebagai pembawa wahyu dan perkara ghaib.” (Syarh Shahih Muslim, 1:350)

Kemudian Waroqoh memberi semangat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap tegar di atas jalan yang telah dilalui oleh nabi Musa dan para nabi yang lainnya. Dia mengatakan: “Seandainya pada hari tatkala engkau telah diutus menjadi seorang rasul dan tatkala kaummu mengusirmu sedangkan aku masih gagah dan berusia muda, atau sekurang-kurangnya apabila aku masih hidup, maka aku akan menolongmu mati-matian.”
Namun takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala menentukan lain, Waroqoh meninggal dunia setelah waktu berlalu dan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala tengah berhenti. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati kita semua dan juga Waroqoh bin Naufal bin Asad. Wallahul Muwaffiq.

Mutiara Kisah

Beberapa pelajaran yang dapat diambil dari kisah di atas adalah:
Selayaknya bagi seorang pengajar untuk menggugah perhatian para murid dan memerintahkan untuk menghadirkan hati dan tidak lalai dari ilmu yang disampaikan. Seperti yang dilakukan Jibril kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala mendekap dan mengulang-ulang perintahnya untuk membaca.

Kisah ini sangat jelas menunjukkan bahwa ayat yang pertama kali diturunkan adalah ayat-ayat di awal surat al-Alaq sebagaimana telah disepakati oleh para ulama salaf dan khalaf dan tidak sebagaimana yang diyakini oleh sebagian orang yang mengatakan bahwa yang pertama diturunkan adalah surat al-Mudatstsir.

Dalam kisah di atas nampak beberapa akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa-masa sebelum beliau diangkat menjadi nabi seperti menyambung tali silaturahmi, memikul beban orang lain yang kepayahan, membantu orang yang kesulitan, menjamu tamu, dan lain sebagainya dari akhlak-akhlak terpuji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kebaikan akhlak seseorang merupakan sebab terjaganya diri dari perkara-perkara jelek yang akan menimpanya. Sebagaimana hiburan yang disampaikan Khadijah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau mengkhawatirkan dirinya.

Dibolehkan memuji seseorang langsung di hadapannya bila yang demikian mengandung maslahat. Seperti yang dilakukan Khadijah tatkala ia menyebutkan kebaikan-kebaikan yang selama ini dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka untuk meneguhkan hati beliau yang tengah dirundung ketakutan.

Kisah di atas menunjukkan kesempurnaan dan kecerdikan Khadijah, kemapanan jiwa, ketegunan hati, dan mengetahui kondisi dan keadaan, sehingga beliau menjadi pendamping hidup yang selalu memberikan dorongan di kala sang suami membutuhkannya. Maka perhatikanlah dengan baik wahai para istri, dan semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa meneguhkan kita semua di atas jalan yang haq.

Merupakan adab, apabila seorang yang lebih muda memanggil orang yang lebih tua maka dengan panggilan “Ya Ammi” (wahai paman), untuk menghormati dan memuliakannya. Sebagaimana hal itu adalah kebiasaan baik yang dilakukan oleh masyarakat Arab bahkan sebelum datang cahaya Islam menerangi dunia ini.

Kebenaran tetap harus dipegang sekalipun kebanyakan manusia meninggalkannya. Oleh karenanya, kita jangan terperdaya dengan banyaknya manusia yang tersesat dan jangan berkecil hati dengan sedikitnya pengikut kebenaran. Di awal mula diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi, banyak manusia yang mengingkarinya bahkan mengusir beliau. Namun, kebenaran tersebut suatu saat akan nampak dan manusia akan mengakui kebenaran tersebut. Wallahu a’lam.

Sumber: Majalah Al-Furqon Edisi 10 Tahun Ke-9 1431 H/2010 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AKU ADALAH TUHAN ! TAPI TUHAN BUKANLAH AKU!

Siapakah Aku? Diriku Adalah Dirimu Tapi Aku Bukanlah Engkau! Yaa Tuhan… alangkah menakjubkan ketika aku hidup, aku tidak tahu dim...